SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA

Senin, 06 September 2010

Harga Diri Bangsa Kita

INSIDEN penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh Malaysia di perairan Pulau Bintan yang jelas-jelas merupakan wilayah Republik Indonesia, agaknya, masih menjadi isu panas yang akan terus menggelinding. Penyelesaian dengan cara membarter tiga petugas KKP itu dengan nelayan Malaysia dianggap banyak pihak sebagai langkah SBY yang sangat tidak fair dan cenderung merendahkan nilai diri bangsa ini.
Sementara itu, pidato terakhir SBY sebagai bentuk respons kepala negara atas memanasnya hubungan RI-Malaysia yang disampaikan di Markas Besar TNI di Cilangkap (1/9) ternyata tak cukup menyiram isu panas tersebut. Bahkan sebaliknya.
Pidato itu tidak menunjukkan adanya balasan kiriman kalimat keras seperti yang diucapkan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang mengatakan: Malaysia siap menghadapi ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri. Meski ancaman luar negeri itu tak secara khusus dimaksudkan sebagai ancaman dari Indonesia, kita tentu tahu bahwa Najib Razak sedang mengirimkan sinyal tantangan secara diplomatis kepada SBY.
Keanehan yang kita rasakan atas sikap SBY kali ini adalah dia tak bereaksi seperti biasanya yang begitu responsif bila terjadi perang statemen seperti yang acap kali ditunjukkan kepada Megawati sebagai lawan politiknya.
Kali ini, saat berhadapan dengan Najib Razak, terasa betul bahwa SBY seperti mati gaya dan kehabisan kata-kata. Padahal, terhadap rival-rival politiknya di dalam negeri, dia bisa sangat produktif membalas statemen seperti penyair yang berbalas pantun.
Apa yang disampaikan presiden di Mabes TNI Cilangkap itu sungguh hanya sebuah taushiyah normatif yang isinya sudah banyak diketahui umum. Indonesia sebagai pilar penting penyangga perdamaian di Asia, terutama, tentu kita menyadari betul. Tapi, bahwa sebagai negara kita punya kedaulatan penuh, tentu perlu ditunjukkan dengan adanya sikap tegas.
Apa yang disampaikan Panglima TNI Djoko Santoso bahwa Malaysia hanya melakukan gertak sambal pun terasa naif. Sebab, meski hanya pura-pura menggertak, di mata rakyat Indonesia, hal itu tetap saja terasa sebagai sebuah penghinaan dan pelecehan. Sebagai tetangga dekat, sudah semestinya Malaysia wajib menjaga lidahnya dari kalimat-kalimat yang bisa memanaskan telinga rakyat Indonesia. Presiden sebagai pemimpin bangsa ini seharusnya mampu menegaskan bahwa kita adalah bangsa yang setara. Berdiri sama tinggi, baik dengan Malaysia maupun bangsa mana pun di muka bumi ini.
Keberadaan dua juta pekerja Indonesia di Malaysia, 13.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia, serta 6.000 pelajar dan mahasiswa Malaysia yang juga sedang belajar di Indonesia semestinya bisa dijadikan warning yang elegan bahwa Malaysia tidak boleh sembrono. Putusnya hubungan kedua negara bertetangga ini, bila sampai terjadi, akan berdampak sangat besar. Tak hanya buat Indonesia, tapi tentu juga bagi Malaysia. Pada zaman sekarang, ekonomi adalah senjata. Ekonomi merupakan panglima, alat tawar, sekaligus harga diri. Perang zaman sekarang adalah perang secara ekonomi. Adakah kita bisa menjadi bangsa yang gagah dengan ekonomi yang morat-marit seperti ini? Indonesia adalah negara luas dengan modal penduduk yang sangat besar

1 komentar:

Halaman Kantor Kejari Dihotmix, Dinas PU Asahan Dituding Beri Gratifikasi ke Kejari