SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA

Luruhnya Tradisi NU


Oleh; Al-Zastrouw Ng, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) PBNU
Ada dua tradisi hal yang hilang dan tidak terlihat dalam muktamar kali ini, pertama tradisi gotong royong antara penyelenggara muktamar, pengurus NU dan masyarakat sekitar. Dahulu, muktamar dalah event yang jadi milik bersama seluruh komunitas NU Sebagaimana yang penulis saksikan pada muktamar NU ke 28 di Jogjakarta tahun 1989. Saat itu, beberapa hari menjelang muktamar, pondok pesantren Krapayak anyak didatangi masyarakat yang ingin berpartisipasi dan membantu pelaksanaan muktamar. Rakyat datang berbondong-bondong dari pelosok Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan sekitarnya.
Mereka membawa hasil bumi dan ternak untuk diserahkan kepada pihak pesantren sebagai tuan rumah muktamar. Karena saking banyaknya rakyat yang menyerahkan bantuan, sampai-sampai pihak pesantren harus mengosongkan beberapa ruang pesantren dijadikan gudang logistik dan tempat penampungan ternak; sapi, kambing dan kerbau.
Sementara, masyarakat yang ada di sekitar pesantren suka rela menyediakan rumah-rumah mereka secara gratis menampung saudara-sudara mereka, para warga NU yang datang dari berbagai daerah mensyiarkan muktamar.
Semua dilalukan secara tulus dan ikhlas. Semua spontan dan alamiah. Tak ada pretensi memperoleh imbalan, kecuali hanya untuk ngalap berkah dan doa dari para ulama. Mereka hanya ingin menunjukkan darma bakti kepada panutan mereka yaitu para ulama yang akan melaksanakan kegiatan muktamar di pesantren.
Sebagai balasan sikap yang partisipatif, panitia memberikan kesempatan kepada masyarakat mengunjungi arena muktamar. Mereka bebas bertemu para tokoh dan kiai idolanya sekadar cium tangan atau minta doa. Masyarakat juga bebas masuk ruang sidang mendengarkan perdebatan para tokoh tanpa harus ditanya identitas atau tanda pengenal panitia.
Apa yang terjadi merupakan perwujudan nilai-nilai dan norma yang diajarkan dalam tradisi NU, yaitu nilai keikhlasan dan menghormati para ulama. Nilai dan tradisi ini tertanam kuat dalam tata kehidupan masyarakat NU.
Tradisi dan nilai-nilai inilah yang hilang dalam muktamar kali ini. Jangankan memperoleh bantuan material dari masyarakat, bahkan untuk sekadar menyediakan ruang singgah bagi para penggembira, masyarakat menentukan uang sewa. Muktamar seolah menjadi komoditi dan ajang bisnis masyarakat.
Di sisi lain, panitia muktamar juga menerapkan birokrasi yang ketat dalam pelaksanaan muktamar. Mereka yang tidak memiliki tanda pengenal tidak diperkenankan masuk ke arena muktamar. Masyarakat yang datang untuk bertemu kiai panutannya tidak bisa masuk ke arena muktamar.
Para kiai juga dikawal para banser atau satuan pengamanan lainnya sehingga masyarakat tidak bisa mendekat untuk cium tangan. Akibatnya muktamar terceraikan dari masyarakat khususnya komunitas NU dan hanya menjadi ajang pertarungan para elit yang ditonton ummatnya dari luar arena.
Kedua, tradisi yang hilang dalam muktamar kali ini adalah sikap tawadhu’. Dahulu, hampir sulit mencari kandidat yang terus terang mencalonkan diri menjadi pemimpin NU, karena para elit NU sadar kepemimpinan adalah amanah yang harus diterima jika diberikan, tetapi tidak diperebutkan. Dengan demikian arena muktamar menjadi ajang tukar pikiran memperjuangkan kemaslahatan ummat.
Para peserta muktamar bisa berdebat dan bertukar pikiran secara terbuka, jujur, jernih dan serius tanpa terganggu intrik politik antarkandidat. Mereka merasa semua peserta muktamar adalah saudara, bukan rival politik yang harus disingkirkaan dan dicurigai.
Akibatnya tidak ada lagi perebutan kekuasaan, bahkan ketika ada yang terpilih menjadi pemimpin, dengan suka rela dia mengundurkan diri kalau dilihat masih ada yang lebih kompeten dan lebih tua,
Dalam konteks alam demakrasi liberal yang mengedepankan kompetisi bebas dan terbuka, sikap ini memang terlihat naïf, namun jika dilihat dari perspektif etik dan moral, sikap tersebut justru terlihat indah dan elegan.
Kearifan sikap seperti ini, hampir tidak terlihat dalam arena muktamar kali ini.
Zaman sudah berubah. Namun rasanya lebih baik kalau para elit NU dan kader-kadernya berpikir ulang tidak memberangus semua tradisi baik yang sudah dimiliki NU. Bukankah selama ini NU menerapkan prinsip “al mukhafadhatu ‘ala khadimis shalih wal akhdhu bil jadiidil ashlah” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih).
Munculnya era reformasi yang menjebol sekat-sekat tradisi, sebenarnya merupakan momentum yang baik bagi kalangan NU untuk menguji kekayaan khazanah tradisi yang dimiliki, karena dengan masuknya berbagai tradisi dan nilai baru, komunitas NU memiliki pembanding untuk menentukan mana yang baik dan mana yang lebih baik.
Namun hal ini tampaknya tidak dilakukan komunitas NU, yang terjadi justru pemberangusan nilai dan tradisi lama dengan tradisi baru tanpa melakukan uji sahih terhadap tradisi dan nilai baru secara kritis.
Sikap seperti ini pada ujungnya melahirkan devisit tradisi, karena khazanah tradisi dan nilai-nilai NU larut dan tergerus oleh tradisi baru yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai keislaman NU. Kalau hal ini diteruskan maka dalam waktu tidak lama NU akan mengami kebangkrutan tradisi.
Ada baiknya para elit dan kader NU mulai berpikir ulang kembali menjaga dan mempertahankan berbagai tradisi dan nilai-nilai yang baik yang telah diwariskan para sesepuh NU. Dengan demikian acara muktamar benar-benar bisa menjadi ajang silaturrahim antar warga NU untuk bersama-sama memikirkan kemajuan dan kemaslahaatan NU dimasa mendatang, memupuk persaudaraan dan kebersamaan yang bisa memperkokoh sendi organisasi.
Tanpa kesadaran ini, muktamar NU hanya akan menjadi ajang perebutan kekuasaan dan pertarungan kepentingan antar kelompok. Jika sudah demikian apalagi yang tersisa dari NU untuk diteladani….? odi teks paragraf terakhir.  (sumber: Surya Online, 29/03/10)
Halaman Kantor Kejari Dihotmix, Dinas PU Asahan Dituding Beri Gratifikasi ke Kejari