SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA

Senin, 14 Juni 2010

Korupsi Sumber Keterpurukan Bangsa

Jumat, 14 Juni 2010

Sebagian lapisan elite masyarakat menilai bahwa keterpurukan kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini bersumber dari praktik korupsi di berbagai lapisan dan unsur kekuasaan. Pada tahap ini penilaian elite masyarakat dapat dibenarkan.
Karena dipublikasikan oleh pers, maka penilaian lapisan elite masyarakat tersebut tampaknya berkembang menjadi penilaian masyarakat secara keseluruhannya. Penilaian umum itu bahwa korupsi adalah sumber keterpurukan bangsa dan negara Indonesia. Artinya, pada tahap ini korupsi sebagai tindak kejahatan telah menjadi public opinion (pandangan masyarakat).
Sementara itu, jauh sebelumnya hukum (pengadilan) juga telah menetapkan bahwa korupsi sama dengan kejahatan. Namun, sekalipun perumusannya sama antara rumusan public opinion dan rumusan hukum, tetapi maknanya jauh berbeda. Jika menurut public opinion korupsi pada saat yang bersamaan adalah identik dengan kejahatan, tetapi menurut hukum, korupsi itu baru identik dan baru menjadi kejahatan setelah melalui proses pembuktian kesamaannya secara hukum (melalui proses peradilan).
Menurut pandangan masyarakat, seseorang telah dianggap bersalah (melakukan korupsi) pada saat awal orang yang bersangkutan diketahui terkait dengan suatu perkara korupsi (dari pemberitaan pers). Sedangkan menurut hukum, seseorang itu baru dapat dianggap bersalah atau tidak bersalah di akhir proses hukum.
Dalam rangka menjaga atau memperoleh dukungan masyarakat, maka pemerintah dan elite politik mengakomodasi pandangan masyarakat tersebut menjadi program politiknya, kemudian mencanangkan slogan politik "basmi korupsi". Selain itu, pengadilan juga melakukan serangkaian tindakan pembuktian, antara lain dengan membentuk berbagai badan yang bertujuan untuk membasmi korupsi. Di antaranya adalah KPK, untuk melengkapi lembaga pweradilan yang sudah ada, yaitu kejaksaan dan kepolisian.
Sejak era reformasi, lembaga peradilan memperoleh kebebasan penuh dari pengaruh pemerintah untuk melaksanakan perannya. Sayangnya, lembaga peradilan sering mengeluarkan keputusan yang membebaskan tertuduh korupsi bukan karena kekeliruan, melainkan justru karena kesengajaan yang tidak diketahui motivasinya. Setidaknya, kesan seperti itu sangat kuat di masyarakat. Masyarakat pun cenderung bersikap positif terhadap keputusan hukum yang memutuskan bersalah atas seseorang tertuduh korupsi, terlepas apakah menurut fakta hukum yang bersangkutan terbukti atau tidak terbukti bersalah.
Fenomena yang hidup di masyarakat kita dewasa ini, khususnya berkaitan dengan kasus korupsi, adalah "bersalah atau tidak bersalahnya seorang tersangka/tertuduh korupsi, harus dihukum".
Sepanjang fenomena tersebut hidup di kalangan masyarakat yang awam hukum, sebenarmya tidaklah terlalu bermasalah. Tetapi, jika fenomena itu hidup juga di kalangan warga masyarakat yang paham hukum, seorang ahli atau praktisi hukum, misalnya, maka ini sungguh sangat memprihatinkan.
Jika cukup banyak ahli dan praktisi hukum kita bersikap seperti itu, sungguh sedih hati kita dan tebersit pertanyaan di benak saya, "Siapa lagi yang akan melindungi dan menjaga kewibawaan hukum kita, dan ke manakah arah perjalanan hukum kita ke depan?"
Pramudjo
Jetis, Susukan
Salatiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Kantor Kejari Dihotmix, Dinas PU Asahan Dituding Beri Gratifikasi ke Kejari