Opini |
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait pelecehan yang dilakukan negara tetangga Malaysia menulai pro dan kontra. Ada yang setuju menempuh jalur diplomasi demi kepentingan nasional, demi menjaga hubungan baik kedua negara serumpun bersaudara, dan menjaga eksistensi dua juta lebih tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Namun, banyak pula yang tidak setuju dengan gaya kepemimpinan SBY yang kalem, penakut menyatakan perang atau ‘’ganyang Malaysia’’ demi kedaulatan bangsa dan negara yang sudah diinjak-injak Malaysia. Yang menarik, meskipun Presiden SBY memilih cara diplomasi daripada angkat senjata (perang), di Jakarta kemarin Presiden SBY memilih datang ke Mabes TNI, Cilangkap. Dan di satu daerah di Jawa dilakukan latihan perang-perangan dengan menggunakan pesawat tempur canggih, terjun payung dll. Di mata pengamat, kedua manuver itu dilakukan SBY untuk mengancam Malaysia agar tidak tinggi hati dan mau duduk bersama Indonesia menuntaskan konflik batas wilayah kedua negara. Namun begitu, Malaysia pasti sudah punya hitung-hitungan (untung-rugi) untuk menerima tantangan atau sinyal yang dilakukan Presiden SBY. Kalau konsolidasi dan kekuatan TNI solid dipastikan Malaysia akan takut dan dengan senang hati menerima tawaran penyelesaian lewat jalur diplomasi tanpa harus mengulur waktu lagi. Tapi, kalau saja kekuatan angkatan perang kita tidak solid dalam persenjataan dan kemahiran bertempur, besar kemungkinan Malaysia malah mengejek. Sikap kurang bersahabat yang diperlihatkan pejabat pemerintahan Malaysia, seperti PM dan Menlu Malaysia menunjukkan kalau mereka di atas angin. Malaysia merasa lebih tinggi derajatnya sehingga seenaknya meninggikan pula posisi tawarnya dalam berbagai hal. Malaysia tak mau berkaca kalau di tahun 1970an pernah dibantu Indonesia di bidang pendidikan. Ribuan guru Indonesia ‘’dipaksa’’ mengajar di sekolah Malaysia. Memang kini dalam bidang perekonomian Malaysia jauh lebih maju dan sejahtera dibanding kita. Tapi, kemajuan itu diperoleh Malaysia berkat pasokan TKI yang jumlahnya mencapai dua juta orang. Kalau Malaysia merasa Indonesia tidak mampu memberi pekerjaan bagi rakyatnya hal itu memang betul (fakta) tak terbantahkan. Tapi, sebenarnya posisi Indonesia bisa tinggi dan perekonomian Malaysia bisa terancam bangkrut bila pemerintah kita menarik pulang seluruh TKI dari Malaysia. Sektor industri, pertanian, dan properti Malaysia diyakini ‘’collaps’’ karena hanya TKI yang mau digaji rendah. Bisa saja Malaysia menggunakan tenaga kerja dari India, Pakistan, Vietnam, Filipina, Thailand, tapi bayarannya bisa 2-3 kali lipat. Hemat kita, gaya kepemimpinan Presiden SBY memang serba kalem, tidak emosian, sehingga mengharapkan Presiden SBY membunyikan genderang perang terhadap negara jiran Malaysia ibarat menanti dan menunggu ‘’kuda bertanduk’’, tidak mungkin terjadi. Tapi, pidato normatif terhadap Malaysia yang arogan dinilai kurang pas di tengah kemarahan sebagian masyarakat dewasa ini. Bukan tidak mungkin malah menimbulkan masalah baru sehingga terjadi perpecahan di elite pemerintahan, politik, ekonomi, sosial hingga masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, pesan SBY menempuh jalur diplomasi menjadi tantangan buat para diplomat kita. Dan kita menilainya sangat berat dan riskan sekali karena selama ini para diplomat Indonesia dikenal tidak mampu menghadapi gaya dan terobosan diplomat negara lain. Gara-gara kalah dalam diplomasi pula akhirnya Indonesia setuju membawa konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional di Belanda, dan akhirnya kalah telak! Sama halnya dengan Timor Timor yang harus lepas pada pemerintahan Presiden BJ Habibie karena dilakukan referendum. Pertanyaannya sekarang: Akankah pemerintah Indonesia mengulang kesalahan serupa sehingga harus terperosok ke lubang yang sama dengan menempuh jalur diplomasi? Jawabnya, sangat mungkin dan akan terjadi, meskipun tidak dalam jangka waktu singkat. Mungkin pada pemerintahan berikutnya baru masalah perbatasan dengan Malaysia ini, termasuk perebutan Pulau Ambalat akan selesai. Artinya, pemerintahan SBY sudah lepas tangan saat Malaysia memenangkan perundingan (diplomasi) nanti. Terus terang kita kecewa dengan sikap pemerintah saat ini yang cenderung lembek, tidak tegas dalam menghadapi provokasi Malaysia. Apalagi Malaysia sudah tahu betul kelemahan dan kelebihan lawannya (RI) sehingga pemerintah Malaysia dianggap kurang memiliki itikad baik dalam menyelesaikan sengketa perbatasan, meskipun kedua negara telah sepakat untuk menegosiasikan kembali kerjasama perjanjian perdagangan wilayah perbatasan (Border Trade Agreement) sebelum Oktober 2010. Faktanya hingga kini masih belum banyak perubahan signifikan dalam perundingan tersebut, di antaranya sikap Malaysia yang tetap tak menginginkan wilayah perbatasan laut masuk dalam BTA kedua negara. Malaysia juga selalu mengulur waktu terkait perlindungan hukum terhadap TKI. Dan yang membuat kita prihatin, Presiden SBY tidak menyinggungnya secara tegas dalam pidatonya. Padahal, pidato SBY disiarkan secara langsung oleh media Malaysia. Wajar saja kalau para TKI kecewa berat. Terlebih lagi mereka yang sedang menghadapi persoalan hukum dan diperlakukan semena-mena oleh majikannya di Malaysia. |
Senin, 06 September 2010
Sikap SBY & masalah baru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar