Mahkamah Agung (MA) melarang ujian nasional (UN). Kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah, Rabu (25/11), ditolak MA.
Sementara Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh menyatakan, meski UN bisa saja ditiadakan, namun UN 2010 tetap akan dilaksanakan. Seperti yang dilansir resmi oleh MA, lembaga tersebut memutuskan menolak kasasi perkara dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 yang diputuskan pada 14 September 2009 lalu. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan Kristiono cs.
”Majelis hakim terdiri dari ketua majelis hakim Mansyur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abas Said,” terang Kepala Sub Bagian (Kasubag) Humas MA, Andri Tristianto, Rabu.
Dalam isi putusan ini, para tergugat yakni presiden, wakil presisen, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. Sementara itu, pihak penggugat yang menamakan diri Tim Advokasi Korban UN (Tekun) dan Eduvation Forum mendesak pemerintah untuk mematuhi putusan MA.
Satu-satunya
”Mendesak pemerintah untuk menghargai upaya hukum yang dilakukan masyarakat dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Meminta pemerintah tidak melakukan upaya hukum apapun,” ujar Koordinator Tekun, Gatot Goei, di sela-sela acara syukuran di Kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu.
Gatot menegaskan yang dipermasalahkan pihaknya sebagai masyarakat adalah menggunakan UN sebagai syarat satu satunya kelulusan.
”UN tidak berpengaruh sama sekali, anggaran tiap tahun dikeluarkan tapi tidak meninggalkan apapun kecuali masalah baru. Kita tidak mempermasalahkan kecuali ke perguruan tinggi. Yang kita permasalahkan adalah UN sebagai syarat satu-satunya kelulusan,” imbuhnya.
Menurut Gatot, untuk mengubah sistem itu, Mendiknas diminta membangun sistem pendidikan yang lebih baik jika UN ditiadakan dengan putusan kasasi MA ini. Gatot juga mendesak MA memberikan salinan putusan ke tim advokasi.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) saat ini masih mempelajari putusan MA terkait penolakan kasasi itu. ”Kami menghargai putusan MA. Nanti kalau sudah dapat, kami akan pelajari apa putusannya,” kata Kepala Balitbang Depdiknas, Prof Mansyur Ramli.
Dia mengaku, meski sudah diputus pada 14 September, Depdiknas belum mendapat amar putusannya. Dan sebenarnya, putusan ini sama dengan putusan di pengadilan negeri pada 2007 dan pengadilan tinggi pada 2008. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret, misalnya untuk gangguan psikologi pada anak, dengan melakukan perbaikan UN.
”Jadi bukan UN ditolak, tapi ada perbaikan. Sejak 2005, kita melakukan perbaikan UN, mengurangi stres peserta didik dengan melakukan ujian ulang, yang tidak lulus bisa mengikuti ujian nasional,” jelasnya.
Keputusan MA langsung ditanggapi Komisi X DPR. Mereka akan menggelar rapat kerja dengan Depdiknas pada Kamis (26/11) ini. Ketua Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat, Mahyudin, mengaku belum melihat salinan putusan yang keluar.
Tetap jalan
Sementara di Yogyakarta, meskipun menyatakan UN bisa ditiadakan, namun Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), M Nuh menyatakan UN 2010 tetap harus berjalan. ”Keputusan menteri ada, peraturan (UN 2010) sudah dibuat, sudah ada di APBN, masuk program nasional,” kata M Nuh mengisyaratkan pelaksanaan UN 2010 tetap harus berjalan. Meski demikian pihaknya menunggu penjelasan resmi MA perihal penolakan kasasi itu.
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) masih mempelajari isi putusan MA. Namun ditegaskan pelaksanaan UN penting untuk pendidikan nasional.
”UN sangat penting. Tanpa UN kualitas tidak bisa diukur secara nasional, hanya lokal saja,” ujar anggota BSNP Mungin Edi Wibowo.
Menurut Mungin, pihaknya belum menerima amar putusan itu, namuan setiap tahun pihaknya berupaya memperbaiki UN. ”Yang namanya ujian ada yang lulus, ada yang tidak. Yang tidak lulus artinya kompetensi belum mencapai yang ditetapkan,” terangnya.
Pengamat pendidikan UNS, Prof Dr M Furqon Hidayatullah MPd menyatakan, pelarangan adanya penyelenggaraan UN tersebut dinilai positif, karena orientasi pelaksanaan ujian tersebut bukan untuk mengetahui kompetensi siswa tapi sebagai alat kelulusan. ”Saya sepakat UN dicabut, karena masyarakat tidak percaya dengan sistem pelaksanaan ujian itu,” jelas dia ketika dihubungi Espos.
Sistem pendidikan Indonesia memang terkesan bolak-balik, karena masyarakat menilai proses pelaksanaan UN masih karut-marut. Dia mengatakan, jika ujian nasional itu nanti dibebankan kepada sekolah artinya hal itu tantangan bagi pihak sekolah dan guru untuk memberikan evaluasi secara objektif. Guru harus memberikan evaluasi kepada siswa berdasarkan kompetensinya. ”Dulu ada kesan ujian nasional dilaksanakan di sekolah, pihak sekolah terkesan asal meluluskan siswa. Jika sekarang UN dilaksanakan di sekolah maka penyelenggara harus dapat dipercaya,” paparnya.
Kontroversi UN
19 Mei 2003
Ujian Akhir Nasional (UAN) kali pertama digelar.
18 Juni 2004
Sekitar 100 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makassar (FKMIM) dan Forum Kilo Empat (FK 4) demo tolak konversi UAN di perempatan Tol Reformasi, Makassar
22 Juni 2004
Puluhan guru, mahasiswa, siswa SMU dan perwakilan orang tua murid menggelar aksi menolak konversi nilai UAN di depan gedung DPRD Banyumas.
2 Juli 2005
50 pelajar yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh melakukan aksi demo ke Kantor Dinas Pendidikan NAD
2 Juni 2006
Panitia Ad Hoc (PAH) III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menolak ujian nasional (UN) sebagai satu-satunya dasar penentuan kelulusan peserta didik dan mendesak Pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional menjadi dasar pelaksanaan.
22 Mei 2007
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan citizen lawsuit UN 2006. Sekitar 58 orang yang salah satu di antaranya adalah artis Sophia Latjuba, sebelumnya mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Pusat. Mereka menggugat Presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, Mendiknas Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Soehendro. Gugatan diajukan lantaran UN 2006 dinilai terindikasi bocor.
22 Juni 2007
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) menegaskan pemerintah akan mengkaji ulang pelaksanaan sistem Ujian Nasional (UN).
26 November 2009
MA melarang pelaksanaan UN dengan menolak kasasi yang diputus pada 19 September 2009.
Sumber : Litbang SOLOPOS, dari berbagai sumber - Oleh : JIBI/Harian Jogja/miu/ole/das/dtc
”Majelis hakim terdiri dari ketua majelis hakim Mansyur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abas Said,” terang Kepala Sub Bagian (Kasubag) Humas MA, Andri Tristianto, Rabu.
Dalam isi putusan ini, para tergugat yakni presiden, wakil presisen, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. Sementara itu, pihak penggugat yang menamakan diri Tim Advokasi Korban UN (Tekun) dan Eduvation Forum mendesak pemerintah untuk mematuhi putusan MA.
Satu-satunya
”Mendesak pemerintah untuk menghargai upaya hukum yang dilakukan masyarakat dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Meminta pemerintah tidak melakukan upaya hukum apapun,” ujar Koordinator Tekun, Gatot Goei, di sela-sela acara syukuran di Kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu.
Gatot menegaskan yang dipermasalahkan pihaknya sebagai masyarakat adalah menggunakan UN sebagai syarat satu satunya kelulusan.
”UN tidak berpengaruh sama sekali, anggaran tiap tahun dikeluarkan tapi tidak meninggalkan apapun kecuali masalah baru. Kita tidak mempermasalahkan kecuali ke perguruan tinggi. Yang kita permasalahkan adalah UN sebagai syarat satu-satunya kelulusan,” imbuhnya.
Menurut Gatot, untuk mengubah sistem itu, Mendiknas diminta membangun sistem pendidikan yang lebih baik jika UN ditiadakan dengan putusan kasasi MA ini. Gatot juga mendesak MA memberikan salinan putusan ke tim advokasi.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) saat ini masih mempelajari putusan MA terkait penolakan kasasi itu. ”Kami menghargai putusan MA. Nanti kalau sudah dapat, kami akan pelajari apa putusannya,” kata Kepala Balitbang Depdiknas, Prof Mansyur Ramli.
Dia mengaku, meski sudah diputus pada 14 September, Depdiknas belum mendapat amar putusannya. Dan sebenarnya, putusan ini sama dengan putusan di pengadilan negeri pada 2007 dan pengadilan tinggi pada 2008. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret, misalnya untuk gangguan psikologi pada anak, dengan melakukan perbaikan UN.
”Jadi bukan UN ditolak, tapi ada perbaikan. Sejak 2005, kita melakukan perbaikan UN, mengurangi stres peserta didik dengan melakukan ujian ulang, yang tidak lulus bisa mengikuti ujian nasional,” jelasnya.
Keputusan MA langsung ditanggapi Komisi X DPR. Mereka akan menggelar rapat kerja dengan Depdiknas pada Kamis (26/11) ini. Ketua Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat, Mahyudin, mengaku belum melihat salinan putusan yang keluar.
Tetap jalan
Sementara di Yogyakarta, meskipun menyatakan UN bisa ditiadakan, namun Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), M Nuh menyatakan UN 2010 tetap harus berjalan. ”Keputusan menteri ada, peraturan (UN 2010) sudah dibuat, sudah ada di APBN, masuk program nasional,” kata M Nuh mengisyaratkan pelaksanaan UN 2010 tetap harus berjalan. Meski demikian pihaknya menunggu penjelasan resmi MA perihal penolakan kasasi itu.
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) masih mempelajari isi putusan MA. Namun ditegaskan pelaksanaan UN penting untuk pendidikan nasional.
”UN sangat penting. Tanpa UN kualitas tidak bisa diukur secara nasional, hanya lokal saja,” ujar anggota BSNP Mungin Edi Wibowo.
Menurut Mungin, pihaknya belum menerima amar putusan itu, namuan setiap tahun pihaknya berupaya memperbaiki UN. ”Yang namanya ujian ada yang lulus, ada yang tidak. Yang tidak lulus artinya kompetensi belum mencapai yang ditetapkan,” terangnya.
Pengamat pendidikan UNS, Prof Dr M Furqon Hidayatullah MPd menyatakan, pelarangan adanya penyelenggaraan UN tersebut dinilai positif, karena orientasi pelaksanaan ujian tersebut bukan untuk mengetahui kompetensi siswa tapi sebagai alat kelulusan. ”Saya sepakat UN dicabut, karena masyarakat tidak percaya dengan sistem pelaksanaan ujian itu,” jelas dia ketika dihubungi Espos.
Sistem pendidikan Indonesia memang terkesan bolak-balik, karena masyarakat menilai proses pelaksanaan UN masih karut-marut. Dia mengatakan, jika ujian nasional itu nanti dibebankan kepada sekolah artinya hal itu tantangan bagi pihak sekolah dan guru untuk memberikan evaluasi secara objektif. Guru harus memberikan evaluasi kepada siswa berdasarkan kompetensinya. ”Dulu ada kesan ujian nasional dilaksanakan di sekolah, pihak sekolah terkesan asal meluluskan siswa. Jika sekarang UN dilaksanakan di sekolah maka penyelenggara harus dapat dipercaya,” paparnya.
Kontroversi UN
19 Mei 2003
Ujian Akhir Nasional (UAN) kali pertama digelar.
18 Juni 2004
Sekitar 100 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makassar (FKMIM) dan Forum Kilo Empat (FK 4) demo tolak konversi UAN di perempatan Tol Reformasi, Makassar
22 Juni 2004
Puluhan guru, mahasiswa, siswa SMU dan perwakilan orang tua murid menggelar aksi menolak konversi nilai UAN di depan gedung DPRD Banyumas.
2 Juli 2005
50 pelajar yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh melakukan aksi demo ke Kantor Dinas Pendidikan NAD
2 Juni 2006
Panitia Ad Hoc (PAH) III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menolak ujian nasional (UN) sebagai satu-satunya dasar penentuan kelulusan peserta didik dan mendesak Pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional menjadi dasar pelaksanaan.
22 Mei 2007
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan citizen lawsuit UN 2006. Sekitar 58 orang yang salah satu di antaranya adalah artis Sophia Latjuba, sebelumnya mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Pusat. Mereka menggugat Presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, Mendiknas Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Soehendro. Gugatan diajukan lantaran UN 2006 dinilai terindikasi bocor.
22 Juni 2007
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) menegaskan pemerintah akan mengkaji ulang pelaksanaan sistem Ujian Nasional (UN).
26 November 2009
MA melarang pelaksanaan UN dengan menolak kasasi yang diputus pada 19 September 2009.
Sumber : Litbang SOLOPOS, dari berbagai sumber - Oleh : JIBI/Harian Jogja/miu/ole/das/dtc
Berikut ini juga berita dari nusantaranews. :
Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.
Berdasarkan informasi perkara di situs resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputus pada 14 September 2009 lalu oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.
Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).Ini berarti putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih melaksanakan UN pada tahun 2008 dan 2009. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa ditentukan beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Presiden SBY, Wakil Presiden JK, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang S, dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.
-Mahkamah Agung-
Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, terutama sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN. Pemerintah diminta pula untuk segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN.
Amunisi Terakhir Pemerintah, Peninjauan Kembali (PK)
Meski MA melalui putusan perkara dan kasasi bahwa pemerintah dilarang melaksanakan UN sebagai standar baku kelulusan siwa. Namun, pemerintah masih bersikeras agar UN tetap dilaksanakan. Untuk melegalkan misi itu, pemerintah SBY melalui menteri Menteri Pendidikan Nasional dan BSNP akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) dilarang. Inilah satu-satunya amunisi yang tersisa bagi pemerintah untuk melegalkan pelaksanaan UN.
Bila PK ini dimenangkan oleh pemerintah SBY, maka UN 2010 akan legal dilaksanakan. Namun, jika PK ini ditolak, maka secara yuridis pemerintah dilarang melaksanakan UN 2010. Ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah terutama Mendiknas. Pelaksanaan UN tanpa dasar hukum berpoteni menjadi tindakan kriminal kepada negara karena telah ‘menghabiskan anggaran negara untuk kegiatan berlawanan hukum”.
Anggaran UN yang Mahal vs Paradigma Pendidikan
Pada tahun 2009, pemerintah menghabiskan 572 miliar rupiah (setengah triliun) untuk pelaksanaan ujian nasional. Namun sayangnya, anggaran negara yang besar yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN 2009 masih sarat dengan praktik ketidakjujuran.
Banyak sekolah membocorkan ataupun memberikan kunci jawabantermasuk pengamat independen] lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi. Hal ini bahkan terjadi secara bsistematik yang mana kepala dinas pendidikan di beberapa daerah tertentu ikut ‘menfasilitasi’ kecurangan UN di wilayahnya. kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas [
Dan yang paling parah adalah terjadinya ‘mafia kunci UN’. Pada subuh hari, oknum diknas bekerja sama dengan mafia untuk mendapatkan sosial UN sekaligus pada pagi-paginya akan memberikan kunci jawaban kepada ‘pemesan’, baik siswa, orang tua siswa, maupun pihak sekolah.
Ketidaksiapan penyelenggaraan UN yang bersih dan jujur, membuat dunia pendidikan menjadi tercoreng. Pendidikan yang bertujuan untuk mendidik ilmu pengetahuan dan moralitas siswa didik pada akhirnya mendidik ketidakjujuran siswa itu sendiri. Disisi lain yang lebih mendasar, pelaksanaan UN tanpa persiapan yang memadai secara langsung mendidik sikap mental siswa untuk mencapai sesuatu secara instan. Sehingga baik siswa maupun tenaga pendidik cenderung terbentuk watak ‘manusia instan’.
Selain itu, telah terjadi pergeseran paradigma para pendidik. Banyak tenaga pendidik di sekolah-sekolah merasa bahwa mereka mendidik siswa-siswi hanya untuk meluluskan siswanya dari UN. Proses panjang dalam belajar-mengajar selama 3 atau 6 tahun, hanya ditentukan 3-5 hari Ujian. Hal ini semakin jauh dari esensi pendidikan yakni mendidik. Sekolah dan tenaga pendidik semulanya berperan besar pada mendidik siswa dalam pengetahuan, etika dan moral, kini cenderung mengajar bagaimana lulus UN. Hal ini pun dimanfaatkan bermacam-macam lembaga pendidikan, baik diluar sekolah maupun di internal sekolah [menjadi alasan sekolah menarik iuran dari orang tua].
PK ini akan menjadi penentu masa depan sekitar 5 juta siswa kelas 3 SMP-SMA sederajat di seluruh Indonesia. Bagi adik-adik yang illfeel dengan UN, maka berita ini tentu membuat adik-adik senang. he..he..
Salam Nusantaraku,Salam IPNU
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar