SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA

Sabtu, 26 November 2011

Masa Depan Guru "Darurat"

DUNIA pendidikan nasional kita akhir-akhir ini menggunakan dua istilah penyebutan untuk guru, yaitu "guru kontrak" dan "guru bantu". Adapun guru "darurat" merupakan istilah yang saya pergunakan untuk menyatakan kedua istilah di atas. Karena persoalan kontrak-mengontrak dan bantu-membantu erat hubungannya dengan keadaan darurat, ketergesaan atau sementara waktu. Seperti halnya yang dikenal selama ini, yaitu rumah kontrak atau pembantu rumah tangga. Maka, "guru kontrak" atau "guru bantu" bisa disebut dengan "guru darurat".
Persoalan Istilah
Bila direnungi secara seksama dua istilah yang dipakai pemerintah di atas, sebenarnya mengandung makna yang kurang etis. Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena persoalan kontrak-mengontrak atau bantu-membantu yang ada hanyalah hubungan balas jasa. Sementara dunia pendidikan menuntut lebih dari itu, yaitu adanya hubungan emosional dan batin, serta terjalinnya dialetika demokratis secara sadar antara guru dan anak didik.
Istilah "guru bantu" identik dengan makna kata "pembantu" yang bisa pula berarti "orang hebat" yang kerjanya membantu. Bisa juga bermakna "orang rendahan" karena kerjanya cuma bantu-bantu (suruhan). Maka menurut pandangan saya, istilah "bantu" dipadankan setelah kata "guru" kurang tepat. Sebab istilah "bantu", apalagi "kontrak", maknanya lebih terpokus kepada "kedaruratan" atau "ketergesaaan". Seperti halnya "rumah kontrak" atau "puskesmas pembantu". Namun dalam proses pendidikan seorang guru dituntut mengajar penuh kesabaran, ketepatan, dan penuh perhitungan.
Istilah "guru honorer" yang dipergunakan selama ini, menurut pandangan saya lebih layak. Karena istilah "honorer" lebih terpokus kepada nilai pekerjaan guru itu sendiri, yang berarti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdiknas, Edisi ke-3, Balai Pustaka (2001), adalah "kehormatan". Jadi, profesi guru adalah profesi terhormat yang berhak mendapat upah, gaji, atau honor yang layak.
Pengadaan Guru "Darurat"
Pengadaan guru bantu, atau guru kontrak, terbukti berangkat dari makna dasar kata itu. Pengadaan guru bantu oleh pemerintah berangkat dari kondisi yang darurat dan suatu pilihan dari sebuah dilema. Yaitu: jika diangkat calon guru menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka gaji untuk para pegawai tidak memadai dalam anggaran pendidikan. Bila tidak diadakan pengangkatan guru, sementara sekolah yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia banyak yang membutuhkan guru. Di samping itu, ribuan calon guru masih dalam keadaan menganggur dan menanti lowongan dari pemerintah. Untuk mengatasi persoalan ini, maka pengadaan "guru bantu" dianggap jalan alternatif oleh pemerintah. Namun solusi ini sekaligus bukti bahwa pemerintah Indonesia belum bersungguh untuk memperhatikan dunia pendidikan nasional dan kesejahteraan para guru.
Ada kesan yang timbul di tengah masyarakat kita, bahwa sekolah-sekolah swasta yang diurus oleh suatu yayasan atau lembaga tertentu, banyak yang lebih profesional, maju dan menjadi favorit ketimbang sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Karena para guru swasta pengangkatannya dinilai lebih objektif, sesuai dengan kemampuannya, serta didukung dengan tunjangan hidup yang mencukupi. Tidak heran kemudian kinerja mereka lebih baik dan pendidikan yang diberikan terkesan profesional dan produktif.
Plus-minus Guru "darurat"
Bagaimanapun bentuk suatu kebijakan yang dibuat tidak akan luput dari baik-buruknya. Begitu jualah terhadap kebijakan pengadaan guru "darurat" ini. Ada beberapa nilai positif yang menjadi penilaian saya. Pertama, terbukanya kesempatan kerja bagi calon guru. Kedua, terseleksinya guru yang berkualitas. Jadi, selama kontrakan berlangsung dapat dijadikan untuk menilai mana guru-guru yang memang memiliki dedikasi dan integritas tinggi bagi kemajuan pendidikan. Hal ini dilakukan bisa dengan melihat hasil karya yang bisa diperbuat oleh guru selama kontrak berlangsung. Ketiga, tertutupinya kekurangan guru di sekolah-sekolah yang selama ini kurang.
Namun nilai negatifnya juga ada, bahkan lebih serius. Pertama, dikhawatirkan pengajaran yang diberikan tidak berkualitas dan mencapai sasaran. Dengan waktu sekitar setahun atau tiga tahun, apa yang dapat diperbuat banyak oleh guru? Bagi guru yang ditempatkan di daerah pedalaman, untuk memfokuskan diri dalam menjalani tugas tentu saja belum bisa. Karena harus berinteraksi dan beradabtasi dengan lingkungan masyarakatnya. Kedua, dikhawatirkan guru "darurat" mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan buat kehidupan mereka. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya jaminan masa depan yang lebih baik bagi mereka untuk diangkat menjadi PNS setelah kontrakan berakhir. Guru yang sudah sebagai PNS saja sudah begitu apalagi bagi guru "darurat". Ketiga, secara psikologis bisa saja guru "darurat" akan merasa minder terhadap guru lainnya yang merupakan PNS. Karena kebijakan pemerintah dinilai tidak adil dan diskriminatif dalam proses pengangkatan guru. Di sekolah-sekolah tempat meraka mengajar tidak jarang didapatkan guru "darurat" ini tidak memiliki meja tetap di kantor. Sehingga antara guru tetap dan guru "darurat" dalam pergaulan kurang. Ketiga, menyebabkan pengajaran yang diberikan tidak ikhlas dan apa adanya. Menjadi guru "darurat" terkesan pilihan yang terpaksa untuk menutupi malu dalam masyarakat karena sudah sarjana dan bertitel tapi masih menganggur. Ketidakikhlasan itu bisa terjadi bila pemerintah juga tidak memberikan imbalan yang sepantasnya dan tidak pula tepat waktu.
Dari beberapa plus-minus pengadaan guru "darurat" di atas, sedikit-banyaknya tentu akan memberi pengaruh baik-buruk terhadap anak didik. Dan persoalan anak didik adalah persoalan kemanusiaan. Oleh sebab itu kita berharap, adanya penangan serius dalam pengelolaan proses pendidikan di Indonesia. Bukankah selama ini, ada kesan yang timbul, bahwa dunia pendidikan seakan miliknya menteri pendidikan. Setiap menteri pendidikan berganti maka kebijakan dalam dunia pendidikan juga berganti. Dus diiringi dengan persoalan yang memusingkan masyarakat di negeri ini. Belum ada konsep yang jelas yang dapat disepakati bersama, serta berwawasan jauh ke depan, sesuai zaman, dan produktif. Diharapkan, dengan adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap problema pendidikan di tanah air, dapat mendongkrak keterbelakangan dunia pendidikan kita selama ini. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Kantor Kejari Dihotmix, Dinas PU Asahan Dituding Beri Gratifikasi ke Kejari