SEBAGIAN besar masyarakat awam bertanya, mengapa aksi demontrasi yang dilakukan elemen mahasiswa lebih banyak berakhir ricuh atau bentok? Bukan hanya di Jakarta, bentrok bendarah juga kerap terjadi di daerah lain seperti Makassar.
Fenomena ini kerap terjadi dalam satu dasawarsa terakhir. Para elemen mahasiswa menerapkan metode konfrontasi fisik agar aksinya bisa efektif. Padahal masih ada metode lain yang lebih efektif dibandingkan menerapkan budaya baku fisik tersebut.
Pada dasarnya, setiap aksi yang dilakukan mahasiswa demi majunya kehidupan berbangsa di Bumi Pertiwi ini. Tentu saja masyarakat menjadi obyek perubahan dari aksi tersebut. Sehingga legitimasi atau dukungan penuh dari masyarakat sangat dibutuhkan.
Bila sudah meraih simpati masyarakat, pemerintah pun akan lebih memperhatikan setiap tuntutan yang disampaikan elemen mahasiswa. Bukan tidak mungkin pemerintah cepat merespons dengan mengambil satu keputusan. Karena gejolak dalam masyarakat bisa berakibat fatal, bagi keamanan negara.
Sebaliknya, tanpa meraih hati masyarakat, demonstrasi yang dilakukan elemen mahasiswa tidak akan memberikan hasil apa pun. Malah hanya segelintir mahasiswa yang bisa memetik hasil dari sederet aksi yang pernah dilakukannya. Sementara, mahasiswa lain dan masyarakat hanya terkena dampak dari aksi tersebut.
Mana mungkin dengan bentrokan mahasiswa bisa menyampaikan aspirasi yang selama ini belum diperhatikan pemerintah. Biasanya, saat bentrok terjadi ada oknum yang sengaja menungganggi atau memperkeruh keadaan. Buntutnya korban berjatuhan. Namun inti atau tujuan dari demonstrasi tersebut bisa dialihkan.
Penerapan bentrok fisik untuk mengubah tatanan hidup masyarakat bukanlah pilihan tepat. Selama ini yang bisa dilakukan elemen mahasiswa adalah pengerahan jumlah massa dan setumpuk ide demi kemajuan bangsa. Idealnya dua keunggulan tersebut dipadukan, plus mengutamakan bentrok ilmu. Mungkin juga mahasiswa memiliki metodologi lain yang sama elegan dengan bentrok ilmu.
Dengan kemajuan teknologi dan pola pikir elemen mahasiswa, sudah saatnya metode yang diterapkan berganti haluan. Dari bentrok fisik menjadi konfrontasi ilmu. Bisa dilakukan melalui debat dengan pemerintah atau wakil rakyat. Dari situ bisa dinilai, ide mahasiswa atau argumen pemerintah yang menguntungkan bagi masyarakat. Bisa dipastikan masyarakat akan mendukung penuh aksi yang dilakukan elemen mahasiswa dalam menggelar aksinya. Fenomena ini akan melahirkan kekuatan gabungan mahasiswa dan masyarakat untuk menuntut pemerintah melakukan perubahan sesuai harapan.
Sedangkan budaya aksi bentrok dan turun ke jalan sendiri lambat laun akan melahirkan antipati bagi masyarakat. Selain keamanan, masyarakat juga dirugikan karena sudah pasti jalan-jalan yang menjadi akses bisnis macet total. Keluhan pun keluar dari mulut masyarakat. Akibatnya, elemen mahasiswa yang membuat niat suci melakukan perubahan lebih baik, malah dicibir masyarakat.
Arahnya, masyarakat menilai elemen mahasiswa selelu membuat keonaran yang mengganggu keamanan dan biang kemacetan. Bangsa ini masih membutuhkan pergerakan yang dilakukan kaum intelektual seperti mahasiswa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar