SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA

Rabu, 12 Januari 2011

Sejarah NU

Memahami perjalanan politik kontemporer di indonesia  tidak  akan
    mungkin lengkap jika  kita  tidak  memahami  sejarah  unsur-unsur 
    pembentuk bangunan masyarakat kita. di dalam sejarah maupun  masa 
    mendatang, Islam merupakan salah satu  unsur  pembentuk  bangunan
    politik yang penting.

    Menurut salah satu model yang sederhana, unsur Islam di dalam 
    sejarah Indonesia modern ini dapat dikategorikan menjadi dua:
  
      - kelompok islam tradisional (contohnya komunitas NU)
      - kelompok islam modernis    (contohnya komunitas Muhammadiyah) 

    Di bawah ini ada artikel pendek yang menguraikan sekelumit perja-
    lanan hidup KH Hasyim Al-Asy'ari (kakeknya Gus Dur), pendiri NU.
    Hal-hal yang mungkin menarik, misalnya :
    

        => karakter KH Hasyim yang ternyata berbeda dari cucunya,
           Oom Gus Dur :-)

        => KH Hasyim pernah di tawan oleh jepang sebentar
        
        => Bahwa ternyata KH Hasyim dan KH Achmad Dachlan (pendiri
           Muhammadiyah) pernah mempunyai guru yang sama di Arab
           Saudi. Waktu itu di Arab Saudi sedang gencarnya gerakan
           Wahabi yang bermaksud memperbarui dan memurnikan kembali
           pemahaman ajaran Islam. Sementara KH A. Dachlan banyak
           menerima konsep dari semangat pemurnian ini, tidak demikian
           halnya dengan KH Hasyim.

        => bahwa KH Hasyim itu masih keturunan raja Pajang : Sultan
           Hadiwijaya alias Mas Karebet, alias Joko Tingkir .. :-)
           Kalau ini benar, berarti gus Dur itu memang masih keturunan 
           Joko Tingkir ... ( bisa di baca di paragraf bagian bawah )

        => contoh pola "manajemen pendidikan pesantren" di zaman dulu.
           Rupanya Pesantren ini merupakan lembaga pendidikan yang
           sudah mengenal konsep "otonomi" sejak zaman dulu. Mereka
           tentu tidak mungkin mendapat bantuan dari pemerintahan
           Kolonial. Para Kiai besar yang mengasuh suatu pesantren
           umumnya mempunyai sumber ekonomi yang memadai, misalnya
           memiliki tanah pertanian yang luas. Sang Kiai tidak akan
           mengharapkan digaji oleh para murid/santri nya. Seringkali
           malah para santri tersebut yang "numpang hidup", biasanya
           sambil membantu tugas-tugas rumah tangga sehari-hari
           ( misalnya menimba air, dsb. ). Di samping mendapat ilmu
           secara gratis, makan gratis, asrama gratis, kadang-2 kalau 
           cocok malah sekalian mendapat isteri ( diambil menantu oleh 
           sang Kiai) benar2 paket "one-stop education shopping" .... :-))

           Memang tentu tidak tertutup kemungkinan adanya bantuan
           atau donasi dari sebagian orang tua santri yang kebetulan,
           mampu, kadang kala. Tapi ini adalah model zaman dulu.

    -------------------------------------------< ihsan hariadi >--------
         
         
          < http://www.hidayatullah.com/sahid/9901/sejarah.htm >


    Sejarah: 
    -------
    
              ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
                            KH M HASYIM ASY'ARI
              -------------------------------------------------
              Pendiri NU, Satu Guru dengan Pendiri Muhammadiyah
              ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


    Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan  antara  dua  ulama
    besar,  KH  Muhammad  Hasyim  Asy'ari  dengan KH Mohammad Cholil,
    gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan.  Tapi  hari  ini,  saya
    nyatakan  bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu
    kiai dari Madura ini populer dipanggil.   Kiai  Hasyim  menjawab,
    "Sungguh  saya  tidak  menduga  kalau  Tuan Guru akan mengucapkan
    kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru  salah  raba  berguru
    pada  saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan
    juga  sekarang.  Bahkan,  akan  tetap  menjadi  murid  Tuan  Guru
    selama-lamanya."   Tanpa  merasa  tersanjung,  Mbah  Cholil tetap
    bersikeras dengan niatnya. "Keputusan  dan  kepastian  hati  kami
    sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan
    turut belajar di sini,  menampung  ilmu-ilmu  Tuan,  dan  berguru
    kepada  Tuan,"  katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya,
    Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain  selain  menerimanya  sebagai
    santri.

    Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya
    cepat-cepat   menuju   tempat   sandal,   bahkan   kadang  saling
    mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

    Sesungguhnya bisa  saja  terjadi  seorang  murid  akhirnya  lebih
    pintar  ketimbang  gurunya.  Dan  itu  banyak terjadi. Namun yang
    ditunjukkan  Kiai  Hasyim  juga  Kiai  Cholil;  adalah  kemuliaan
    akhlak.   Keduanya   menunjukkan   kerendahan   hati  dan  saling
    menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit  ditemukan  pada
    para murid dan guru-guru kita.

    Mbah Cholil adalah kiai yang  sangat  termasyhur  pada  jamannya.
    Hampir  semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
    pernah  berguru  kepada  pengasuh  sekaligus  pemimpin  Pesantren
    Kademangan, Bangkalan Madura ini.

    Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan  saja
    ia  pendiri  sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
    sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran  ketinggian
    ilmunya.   Terutama,  kakek  Abdurrahman  Wachid  (Gus  Dur)  ini
    terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits.  Setiap Ramadhan Kiai  Hasyim
    punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama
    sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

    Maka tak heran bila pesertanya datang  dari  berbagai  daerah  di
    Indonesia,  termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil.  Ribuan
    santri  menimba ilmu  kepada  Kiai  Hasyim.  Setelah  lulus  dari
    Tebuireng,  tak  sedikit  di  antara  santri Kiai Hasyim kemudian
    tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh  luas.  KH
    Abdul  Wahab  Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul
    Arifin, Wahid  Hasyim  (anaknya)  dan  KH  Achmad  Siddiq  adalah
    beberapa  ulama  terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.

    Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren  paling
    besar  dan  paling  penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
    buku 'Tradisi  Pesantren',  mencatat  bahwa  pesantren  Tebuireng
    adalah  sumber  ulama  dan  pemimpin lembaga-lembaga pesantren di
    seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian
    memberi  gelar  Hadratus-Syekh  (tuan  guru  besar)  kepada  Kiai
    Hasyim.

    Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim
    menjadi  perhatian  serius  penjajah.  Baik Belanda maupun Jepang
    berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia  pernah  dianugerahi
    bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.

    Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda  kelimpungan.  Pertama,
    ia  memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
    suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih
    melawan  penjajah  muncul  di mana-mana.  Kedua, Kiai Hasyim juga
    pernah  mengharamkan  naik  haji  memakai  kapal  Belanda.  Fatwa
    tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian
    Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas  (penguasa  Belanda)
    menjadi   bingung.   Karena   banyak   ummat   Islam  yang  telah
    mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

    Namun sempat juga Kiai Hasyim  mencicipi  penjara  3  bulan  pada
    l942.  Tidak  jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin,
    karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking
    khidmatnya   kepada  gurunya,  ada  beberapa  santri  minta  ikut
    dipenjarakan bersama kiainya itu.

    Mendirikan NU
    -------------
    Kemampuannya dalam ilmu  hadits,  diwarisi  dari  gurunya,  Syekh
    Mahfudh  at-Tarmisi  di  Mekkah.  Selama  7  tahun Hasyim berguru
    kepada Syekh ternama asal  Pacitan,  Jawa  Timur  itu.  Disamping
    Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib
    al-Minangkabau. Kepada dua guru  besar  itu  pulalah  Kiai  Ahmad
    Dahlan,  pendiri  Muhammadiyah,  berguru.  Jadi, antara KH Hasyim
    Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

    Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar  di  Mekkah,  Muhammad
    Abduh   sedang   giat-giatnya   melancarkan  gerakan  pembaharuan
    pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui,  buah  pikiran  Abduh
    itu   sangat   mempengaruhi   proses   perjalanan   ummat   Islam
    selanjutnya.  Sebagaimana  telah  dikupas  Deliar  Noer,  ide-ide
    reformasi  Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari
    Mesir,  telah  menarik  perhatian  santri-santri  Indonesia  yang
    sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.

    Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam  untuk
    memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang
    sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi  pendidikan
    Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan
    kembali  doktrin  Islam  untuk  disesuaikan   dengan   kebutuhan-
    kebutuhan  kehidupan  modern;  dan keempat, mempertahankan Islam.
    Usaha  Abduh  merumuskan  doktrin-doktrin  Islam  untuk  memenuhi
    kebutuhan  kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam
    dapat memainkan kembali tanggung jawab  yang  lebih  besar  dalam
    lapangan  sosial,  politik  dan  pendidikan. Dengan alasan inilah
    Abduh melancarkan ide  agar  ummat  Islam  melepaskan  diri  dari
    keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat
    Islam meninggalkan segala bentuk praktek  tarekat.   Syekh  Ahmad
    Khatib  mendukung  beberapa  pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda
    dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib  ketika  kembali
    ke  Indonesia  ada  yang  mengembangkan  ide-ide  Abduh  itu.  Di
    antaranya  adalah  KH  Ahmad  Dahlan  yang  kemudian   mendirikan
    Muhammadiyah.

    Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide
    Abduh  untuk  menyemangatkan  kembali  Islam,  tetapi  ia menolak
    pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri  dari  keterikatan
    mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami
    maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran  al-Qur'an  dan  Hadist
    tanpa   mempelajari   pendapat-pendapat  para  ulama  besar  yang
    tergabung dalam sistem mazhab. Untuk  menafsirkan  al-Qur'an  dan
    Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab
    hanya akan menghasilkan pemutarbalikan  saja  dari  ajaran-ajaran
    Islam   yang  sebenarnya,  demikian  tulis  Dhofier.   Dalam  hal
    tarekat, Hasyim  tidak  menganggap  bahwa  semua  bentuk  praktek
    keagamaan  waktu  itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.
    Hanya, ia berpesan agar ummat Islam  berhati-hati  bila  memasuki
    kehidupan tarekat.

    Dalam  perkembangannya,   benturan   pendapat   antara   golongan
    bermazhab   yang  diwakili  kalangan  pesantren  (sering  disebut
    kelompok tradisional),  dengan  yang  tidak  bermazhab  (diwakili
    Muhammadiyah  dan  Persis,  sering disebut kelompok modernis) itu
    memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres  Al
    Islam  IV  yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan
    dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat  Islam,
    untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

    Karena  aspirasi  golongan  tradisional  tidak   tertampung   (di
    antaranya:   tradisi   bermazhab  agar  tetap  diberi  kebebasan,
    terpeliharanya  tempat-tempat  penting,  mulai  makam  Rasulullah
    sampai  para  sahabat)  kelompok  ini  kemudian  membentuk Komite
    Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah  Wahab  Chasbullah  ini
    bertugas   menyampaikan   aspirasi  kelompok  tradisional  kepada
    penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite  inilah  yang
    pada  31  Februari  l926  menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang
    artinya kebangkitan ulama.

    Setelah  NU  berdiri  posisi  kelompok  tradisional  kian   kuat.
    Terbukti,  pada  l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan
    federasi partai dan perhimpunan  Islam  Indonesia  yang  terkenal
    dengan  sebuta  MIAI  (Majelis  Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim
    diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah  memimpin  Masyumi,  partai
    politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

    Keturunan Raja Pajang
    ---------------------
    Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari  l871  Masehi,
    Hasyim  adalah  putra  ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu,
    Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke  delapan  dari  Jaka
    Tingkir  alias  Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim
    adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai  Utsman  memimpin  Pesantren
    Nggedang,  sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai
    Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah  selatan
    Jombang.  Dua  orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar
    Islam secara kokoh kepada Hasyim.

    Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim  memang
    sudah  nampak.  Di  antara  teman sepermainannya, ia kerap tampil
    sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu  ayahnya
    mengajar  santri-santri  yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia
    15  tahun  Hasyim  meninggalkan  kedua  orang  tuanya,  berkelana
    memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula
    ia menjadi santri di Pesantren  Wonokoyo,  Probolinggo.  Kemudian
    pindah  ke  Pesantren  Langitan,  Tuban.  Pindah  lagi  Pesantren
    Trenggilis,  Semarang.  Belum  puas  dengan  berbagai  ilmu  yang
    dikecapnya,  ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di
    bawah asuhan Kiai Cholil.

    Tak lama di  sini,  Hasyim  pindah  lagi  di  Pesantren  Siwalan,
    Sidoarjo.  Di  pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya,
    Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
    Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim
    dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap  ilmu
    di Pesantren Siwalan. 

    Dan rupanya Kiai Ya'qub  sendiri  kesengsem berat  kepada  pemuda  
    yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim  bukan saja mendapat ilmu,
    melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun,  dinikahkan
    dengan  Chadidjah,  salah  satu  puteri  Kiai  Ya'qub. Tidak lama
    setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna
    menunaikan  ibadah  haji.  Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke
    tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

    Tahun 1893, ia berangkat lagi ke  Tanah  Suci.  Sejak  itulah  ia
    menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air,
    Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak  lama
    kemudian  ia  mendirikan  Pesantren  Tebuireng. Kiai Hasyim bukan
    saja kiai ternama, melainkan juga  seorang  petani  dan  pedagang
    yang  sukses.  Tanahnya  puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
    biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak  mengajar.  Saat  itulah  ia
    memeriksa  sawah-sawahnya.  Kadang  juga pergi Surabaya berdagang
    kuda, besi dan  menjual  hasil  pertaniannya.  Dari  bertani  dan
    berdagang   itulah,   Kiai   Hasyim   menghidupi   keluarga   dan
    pesantrennya.

    Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai  Hasyim
    dikarunia  10  putra:  Hannah,  Khoriyah,  Aisyah, Ummu Abdul Hak
    (istri Kiai Idris),  Abdul  Wahid,  Abdul  Kholik,  Abdul  Karim,
    Ubaidillah,  Masrurah  dan  Muhammad  Yusuf.  Wafat 25 Juli 1947.
    Atas  jasa-jasanya  pemerintah  mengangkatnya  sebagai   Pahlawan
    Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Kantor Kejari Dihotmix, Dinas PU Asahan Dituding Beri Gratifikasi ke Kejari