(Dari Paradigma Seleksi ke Menghargai Pembelajaran)
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun 2011 telah ditetapkan Kementerian Pendidikan
Nasional (Kemendiknas) yaitu pada bulan April 2011. Untuk SMA sederajat pada 18 sampai 21 April dan untuk SMP sederajat pada tanggal 25-28 April.
Drs Parsaulian Sinaga
Ada rasa was-was, rasa cemas dan rasa takut melanda siswa calon pengikut UN, bahkan kerisauan itu juga melanda orang tua siswa, guru dan penyelenggara pendidikan kita. UN dipandang sebagai momok yang menakutkan, karena dianggap penentu kegagalan atau keberhasilan siswa!
Kebijakan Tambal Sulam
Formula UN Tahun 2011 seperti yang dipaparkan Mendiknas RI, Muhammad Nuh di Jakarta yang dilansir media, bahwa batas terendah kelulusan adalah nilai 5,50 dan tidak mengenal ujian ulangan. Komposisi nilai itu dihitung dari 60 persen nilai UN dan 40 persen nilai sekolah yang didapat mulai dari kelas 1, 2, dan 3 dan nilai UN masing-masing pelajaran minimal 4,00. Kebijakan meniadakan ujian ulangan tentu menimbulkan tanda tanya, sebab Tahun 2010 lalu ujian ulangan masih diberlakukan. Namun dengan diakomodirnya nilai siswa selama duduk di bangku sekolah menjadi penyejuk dan pengakuan bagi peran guru.
Kebijakan baru ini membawa kesan, bahwa pemerintah merobah strategi dengan mengakomodir tuntutan berbagai pihak agar wewenang penentuan kelulusan siswa dikembalikan kepada guru, sekalipun proporsinya masih 40 persen dengan mengurangi peran nilai UN menjadi 60 persen sebagai penentu kelulusan. Namun dengan membatasi nilai terendah UN minimal 4,00 tampaknya pemerintah tidak mau mengambil risiko pada sikap siswa (juga sekolah) yang bisa berobah drastis, yang menimbulkan sikap santai dan meruntuhkan mutu pendidikan kita.
Apabila dikaji formula pelaksanaan UN yang berobah-obah setiap tahunnya maka terkesan sebagai kebijakan tambal sulam, karena sampai saat ini pemerintah belum menemukan blue print terbaik bagaimana sebaiknya UN dilaksanakan. Sebab pada saat pemberlakuan UN dengan nama EBTANAS, sistem nilai yang dipakai tahun ini sudah pernah diterapkan, yaitu nilai kelas akhir menjadi salah satu faktor penentu pengambilan nilai. Hanya pada saat EBTANAS dilaksanakan mutu pendidikan kita sangat terpuruk, karena tidak ada batasan nilai minimal kelulusan. Sehingga periode tahun 2000-2003 misalnya ada siswa yang nilai EBTANAS-nya hanya 1,00 dan lulus karena “dipoles” nilai akhir raport siswa dari guru.
Pergeseran Paradigma
Yang menarik dalam pelaksanaan UN tahun ini adalah semakin diakuinya bahwa UN bukan alat atau formula untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Akan tetapi dijadikan sebagai acuan untuk menentukan perkembangan proses pembelajaran. Mendiknas Muhammad Nuh mengakui hal ini belum sepenuhnya dipahami, dan menggambarkan bahwa UN hanyalah seperti Thermometer untuk mengukur suhu seseorang, bukan mengobatinya.
Namun bagi masyarakat apa yang menjadi tujuan itu tidak begitu penting. Bagi masyarakat pendidikan dilaksanakan untuk mempersiapkan putra-putri mereka meraih keberhasilan. Dan yang dihadapi justru sebaliknya, dengan UN semakin banyak siswa yang gagal. Bila kita lihat hasil Tahun 2010, pengumuman UN mengejutkan banyak pihak terutama orang tua dan siswa. Secara nasional dari total siswa peserta UN adalah 1.522.162 siswa, yang mengulang (gagal) sejumlah 154.979 orang (10,12%), dengan tingkat kelulusan sekitar 89,61 persen, menurun 5 persen tingkat kelulusan ini dari rata-rata kelulusan tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Bahkan dilaporkan ada 267 sekolah SMA/MA/SMK di seluruh tanah air yang kegagalan siswanya mencapai 100 persen. Daerah yang paling banyak siswanya mengulang adalah NTT, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Selatan.
Dengan kebijakan Tahun 2011 ini yang mengakomodir nilai sejak kelas 1, 2 dan 3 akan memberi harapan baru. Untuk mencapai nilai 5,50 berarti seorang siswa yang memeroleh nilai UN 4,00 masih lulus (60% x 4 = 2,4), asalkan nilai raportnya rata-tara 8,00 (40% x 8 = 3,2) karena hasilnya menjadi 5,60. Ini menampung aspirasi masyarakat agar UN jangan hanya dianggap sebagai alat seleksi, tanpa memperhitungkan penilaian dari guru yang mendidik siswa selama tiga tahun. Sehingga akan mendorong pergeseran paradigma melihat UN, dari paradigma alat seleksi ke menghargai proses pembelajaran (learning) di sekolah. UN yang hanya berlangsung 120 menit misalnya (satu mata pelajaran) tidak serta merta dapat menggagalkan siswa, akan tetapi masih memperhitungkan nilai yang dicapai siswa sesuai hasil penilaian guru-gurunya.
Yang perlu disikapi dan dibangun oleh sekolah adalah bagaimana mempersiapkan proses pembelajaran yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai, dan proses penilaian yang memiliki validitas yang tinggi, sehingga tumbuh kepercayaan pemerintah kepada independensi guru dalam menilai siswa yang berdasar asas profesional, bukan nilai yang dikatrol demi kelulusan siswa sebagaimana selama ini banyak dipraktikkan di sekolah.
Kita kurang sependapat dengan penilaian standar mutlak yang dipakai dalam sistem UN, sebaiknya dikembangkan penilaian standar norma dengan pertimbangan kondisi daerah yang berbeda-beda, agar lebih berkeadilan dan efisien. Karena harus kita akui bahwa kondisi pendidikan di seluruh daerah tidak sepenuhnya merata.
Bendera UN masih akan berkibar, sekalipun digugat bahkan sampai ke mahkamah tertinggi, karena pemerintah harus mengutamakan perbaikan mutu pendidikan kita yang secara internasional terus meningkat pada tahun 2010. Akan tetapi kebijakan itu harus melihat kondisi bangsa kita, dimana jumlah keluarga miskin dilaporkan masih terus bertambah, inilah harapan kita ke depan.
Penulis: Mantan Sekretaris Dinas Pendidikan, dan saat ini Staf Pemkab Simalungun serta mahasiswa pasca sarjana Perencanaan Wilayah pada
Universitas Simalungun.
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun 2011 telah ditetapkan Kementerian Pendidikan
Nasional (Kemendiknas) yaitu pada bulan April 2011. Untuk SMA sederajat pada 18 sampai 21 April dan untuk SMP sederajat pada tanggal 25-28 April.
Drs Parsaulian Sinaga
Ada rasa was-was, rasa cemas dan rasa takut melanda siswa calon pengikut UN, bahkan kerisauan itu juga melanda orang tua siswa, guru dan penyelenggara pendidikan kita. UN dipandang sebagai momok yang menakutkan, karena dianggap penentu kegagalan atau keberhasilan siswa!
Kebijakan Tambal Sulam
Formula UN Tahun 2011 seperti yang dipaparkan Mendiknas RI, Muhammad Nuh di Jakarta yang dilansir media, bahwa batas terendah kelulusan adalah nilai 5,50 dan tidak mengenal ujian ulangan. Komposisi nilai itu dihitung dari 60 persen nilai UN dan 40 persen nilai sekolah yang didapat mulai dari kelas 1, 2, dan 3 dan nilai UN masing-masing pelajaran minimal 4,00. Kebijakan meniadakan ujian ulangan tentu menimbulkan tanda tanya, sebab Tahun 2010 lalu ujian ulangan masih diberlakukan. Namun dengan diakomodirnya nilai siswa selama duduk di bangku sekolah menjadi penyejuk dan pengakuan bagi peran guru.
Kebijakan baru ini membawa kesan, bahwa pemerintah merobah strategi dengan mengakomodir tuntutan berbagai pihak agar wewenang penentuan kelulusan siswa dikembalikan kepada guru, sekalipun proporsinya masih 40 persen dengan mengurangi peran nilai UN menjadi 60 persen sebagai penentu kelulusan. Namun dengan membatasi nilai terendah UN minimal 4,00 tampaknya pemerintah tidak mau mengambil risiko pada sikap siswa (juga sekolah) yang bisa berobah drastis, yang menimbulkan sikap santai dan meruntuhkan mutu pendidikan kita.
Apabila dikaji formula pelaksanaan UN yang berobah-obah setiap tahunnya maka terkesan sebagai kebijakan tambal sulam, karena sampai saat ini pemerintah belum menemukan blue print terbaik bagaimana sebaiknya UN dilaksanakan. Sebab pada saat pemberlakuan UN dengan nama EBTANAS, sistem nilai yang dipakai tahun ini sudah pernah diterapkan, yaitu nilai kelas akhir menjadi salah satu faktor penentu pengambilan nilai. Hanya pada saat EBTANAS dilaksanakan mutu pendidikan kita sangat terpuruk, karena tidak ada batasan nilai minimal kelulusan. Sehingga periode tahun 2000-2003 misalnya ada siswa yang nilai EBTANAS-nya hanya 1,00 dan lulus karena “dipoles” nilai akhir raport siswa dari guru.
Pergeseran Paradigma
Yang menarik dalam pelaksanaan UN tahun ini adalah semakin diakuinya bahwa UN bukan alat atau formula untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Akan tetapi dijadikan sebagai acuan untuk menentukan perkembangan proses pembelajaran. Mendiknas Muhammad Nuh mengakui hal ini belum sepenuhnya dipahami, dan menggambarkan bahwa UN hanyalah seperti Thermometer untuk mengukur suhu seseorang, bukan mengobatinya.
Namun bagi masyarakat apa yang menjadi tujuan itu tidak begitu penting. Bagi masyarakat pendidikan dilaksanakan untuk mempersiapkan putra-putri mereka meraih keberhasilan. Dan yang dihadapi justru sebaliknya, dengan UN semakin banyak siswa yang gagal. Bila kita lihat hasil Tahun 2010, pengumuman UN mengejutkan banyak pihak terutama orang tua dan siswa. Secara nasional dari total siswa peserta UN adalah 1.522.162 siswa, yang mengulang (gagal) sejumlah 154.979 orang (10,12%), dengan tingkat kelulusan sekitar 89,61 persen, menurun 5 persen tingkat kelulusan ini dari rata-rata kelulusan tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Bahkan dilaporkan ada 267 sekolah SMA/MA/SMK di seluruh tanah air yang kegagalan siswanya mencapai 100 persen. Daerah yang paling banyak siswanya mengulang adalah NTT, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Selatan.
Dengan kebijakan Tahun 2011 ini yang mengakomodir nilai sejak kelas 1, 2 dan 3 akan memberi harapan baru. Untuk mencapai nilai 5,50 berarti seorang siswa yang memeroleh nilai UN 4,00 masih lulus (60% x 4 = 2,4), asalkan nilai raportnya rata-tara 8,00 (40% x 8 = 3,2) karena hasilnya menjadi 5,60. Ini menampung aspirasi masyarakat agar UN jangan hanya dianggap sebagai alat seleksi, tanpa memperhitungkan penilaian dari guru yang mendidik siswa selama tiga tahun. Sehingga akan mendorong pergeseran paradigma melihat UN, dari paradigma alat seleksi ke menghargai proses pembelajaran (learning) di sekolah. UN yang hanya berlangsung 120 menit misalnya (satu mata pelajaran) tidak serta merta dapat menggagalkan siswa, akan tetapi masih memperhitungkan nilai yang dicapai siswa sesuai hasil penilaian guru-gurunya.
Yang perlu disikapi dan dibangun oleh sekolah adalah bagaimana mempersiapkan proses pembelajaran yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai, dan proses penilaian yang memiliki validitas yang tinggi, sehingga tumbuh kepercayaan pemerintah kepada independensi guru dalam menilai siswa yang berdasar asas profesional, bukan nilai yang dikatrol demi kelulusan siswa sebagaimana selama ini banyak dipraktikkan di sekolah.
Kita kurang sependapat dengan penilaian standar mutlak yang dipakai dalam sistem UN, sebaiknya dikembangkan penilaian standar norma dengan pertimbangan kondisi daerah yang berbeda-beda, agar lebih berkeadilan dan efisien. Karena harus kita akui bahwa kondisi pendidikan di seluruh daerah tidak sepenuhnya merata.
Bendera UN masih akan berkibar, sekalipun digugat bahkan sampai ke mahkamah tertinggi, karena pemerintah harus mengutamakan perbaikan mutu pendidikan kita yang secara internasional terus meningkat pada tahun 2010. Akan tetapi kebijakan itu harus melihat kondisi bangsa kita, dimana jumlah keluarga miskin dilaporkan masih terus bertambah, inilah harapan kita ke depan.
Penulis: Mantan Sekretaris Dinas Pendidikan, dan saat ini Staf Pemkab Simalungun serta mahasiswa pasca sarjana Perencanaan Wilayah pada
Universitas Simalungun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar