SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA

Sabtu, 12 November 2011

Menyegarkan NU

Oleh; Rumadi, Peneliti Senior The Wahid Institute, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seorang aktivis muda NU di Yogyakarta dalam sebuah pertemuan berkelakar: “NU itu kalau didekati nyebelin, tapi kalau dijauhi ngangenin”.Pernyataan itu meluncur begitu saja dari mulutnya yang terus menghisap rokok.
“Kenapa nyebelin, dan kenapa nganenin?” tanyaku. Kawan itu mulai menjawab dengan mimik agak serius.“Nyebelin karena NU semakin jauh dari cita-cita pendirinya. NU sekarang bukan tempat untuk mengabdi, melainkan tempat untuk nunut urip. Menjadi aktivis NU bukan untuk ndandani awak (memperbaiki diri) seperti sering diucapkan Mbah Muchith Muzadi, melainkan justru merusak awak. Terkadang perilaku elite NU lebih politis dari politisi. NU semakin jauh dari umatnya. Tokoh-tokohnya sering gontok-gontokan karena perbedaan sikap politik,” katanya. “Kalau begitu, apa yang ngangenin,” kejarku. Dia bilang, “Saya sering rindu suasananya. Ada humor,saling canda,berbagai joke,serta kelakar penuh keakraban.
Situasi seperti itu sulit ditemukan dalam komunitas lain.Sayangnya, situasi itu semakin hilang, karena aktivis NU sudah terlalu serius dan selera humornya semakin hilang.” Pendapat kawan tersebut tentu bisa salah, tapi bisa juga benar. Namun, menurut saya, perasaan tersebut diam-diam menghinggapi banyak orang yang merasa menjadi bagian dari NU. Semakin banyak orang-orang NU yang “diasingkan” dari organisasi NU. Komunitas yang amaliahnya NU, atau sering disebut berkultur NU, bahkan belum tentu mereka mau disebut NU. Mereka bisa melaksanakan tradisi seperti tahlil, ziarah kubur, baca qunut, baca berzanji, dan sebagainya, tanpa harus menjadi bagian dari organisasi NU.
Di pihak lain, ada anak-anak muda yang lahir-batinnya NU,berpendidikan tinggi, berbuat sesuatu untuk masyarakat NU, dianggap sebagai “orang liar” atau “orang luar”karena pikiran-pikirannya sering berbeda dengan elite NU. Pertanyaannya, apakah Muktamar Ke-32 yang akan digelar di Makassar (22-27 Maret) mendatang bisa mengembalikan harga diri NU sehingga tidak ada lagi sikap nyebelin. Sebagai forum tertinggi, apakah muktamar akan menghasilkan keputusan-keputusan besar yang bukan saja berpengaruh pada warga NU, melainkan juga berpengaruh pada perjalanan bangsa? Ataukah muktamar sekedar ritual organisasi lima tahunan? Kita tentu ingin muktamar tidak sekadar ritual organisasi, tapi memang momentum untuk melakukan evaluasi perjalanan NU dan menentukan arah gerakan ke depan.
Tapi, melihat perbincanganperbincangan di media massa, agaknya tidak ada keputusan luar biasa dalam muktamar nanti, kecuali soal pergantian Ketua Umum Tanfidziyah dan Rais ‘Am. Belum terlihat ada agenda yang sangat substansial untuk warga NU dan bangsa.Bukan berarti soal pergantian kepemimpinan tidak penting. Suksesi kepemimpinan sangat penting tapi harus dipastikan suksesi itu diarahkan untuk menyegarkan kehidupan NU,bukan justru mengungkung NU dalam kerangkeng yang beku dan stagnan.
Agar NU Tak Kian Renta
Usia NU yang menjelang satu abad tampak semakin renta.Salah satu ciri tubuh yang renta adalah stamina yang sudah tidak lagi prima,mudah terserang penyakit, bahkan bisa jadi pelupa dan pikun. Tentu saya tidak hendak menyamakan persis NU dengan tubuh manusia, tapi beberapa hal tampaknya ada kemiripan. Usia NU yang sudah 84 tahun tampaknya memang perlu penyegaran- penyegaran agar tidak tampak renta.
Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain: Pertama,sebagai organisasi keulamaan, NU harus tetap prima sebagai penjaga moral bangsa dan masyarakat.Harga diri NU terletak pada kemampuannya untuk menjaga moral keulamaan ini. Bila moral keulamaan semakin hilang,harga diri NU juga akan runtuh. Saya tidak ingin memberi penilaian, apakah pengelola NU masih menjunjung tinggi moral keulamaan atau tidak,yang jelas masih banyak ulama-ulama di lingkungan NU yang mempunyai moralitas mulia. Di tengah godaan kehidupan yang serba materialistik, masih banyak ulama-ulama NU yang ikhlas dan jujur.
Inilah sebenarnya nilai etik sebagai inti dari moral keulamaan itu. Kedua, menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran keagamaan NU.NU memang sering dikategorikan sebagai organisasi “orang kampung” dengan wawasan keagamaan tradisional. Memang sudah banyak kritik terhadap cara pandang seperti itu, tapi yang lebih penting adalah bagaimana melakukan revitalisasi tradisi dan khazanah NU agar tidak menjadi batu. Revitalisasi ini hanya mungkin bisa dilakukan jika warga NU mempunyai wawasan keagamaan terbuka. Prinsip al-muhafazatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid alaslah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik) harus dijalankan secara seimbang).
Sayangnya, dalam waktu yang lama, NU lebih menekankan pada “memelihara tradisi lama”,dan kurang memberi tekanan pada “mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Ke depan dua hal tersebut harus dilakukan secara seimbang oleh NU. Ibarat sopir mobil, harus ada keseimbangan antara menginjak pedal “gas”dan “rem”. Ketiga, NU harus menata kembali kehidupan politiknya yang belakangan karut-marut.Tak bisa dipungkiri politik merupakan godaan NU yang paling berat, bisa menjadi berkah, tapi juga bisa menjadi bencana. Sayangnya, selama ini politik lebih banyak menjadi petaka yang mengoyak kehidupan warga NU daripada sebagai berkah.Bukan berarti saya antipolitik, tapi perlu ada penataan kehidupan politik sehingga NU tidak selalu terjatuh karena hirukpikuk politik.
Setiap kali muktamar hubungan NU dan politik selalu menjadi bahan perdebatan, tapi sejauh ini perebutan kekuasaan politik selalu menjadi silang sengkarut NU. NU harus mulai berpikir untuk memainkan peran politiknya secara efektif tanpa harus “menjual diri”. Peran politik yang efektif bagi NU dapat dilihat sejauh mana ia mampu mempengaruhi berbagai keputusan politik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif yang menguntungkan warga NU. Jika NU punya partai politik,hal itu bisa menjadi salah satu pilihan. Tapi,daripada punya partai politik yang dilahirkan tapi tidak bisa mengartikulasikan kepentingan politik NU seperti yang sekarang ini terjadi,lebih baik NU berperan seperti “lobi Yahudi”.
Lobi Yahudi dikenal sedemikian efektif untuk mempengaruhi kebijakan politik AS meskipun tanpa partai politik. Meski kita tidak terlalu suka dengan politik Yahudi, tapi kita bisa belajar dari mereka mengenai kemampuan lobinya. Bila peran-peran tersebut bisa dilaksanakan,semakin bertambah umur, NU tidak semakin renta dan mudahterserangpenyakit,tapiakan semakin menemukan vitalitasnya. Saya merindukan NU yang segar, terus menemukan relevansi kehadirannya, serta bisa menjadi payung dan rumah bersama yang mengayomi. Bukan NU yang nyebelin,melainkanNU yang ngangenin. ( telah dipublikasi diseputar-indonesia, 22/03/10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Kantor Kejari Dihotmix, Dinas PU Asahan Dituding Beri Gratifikasi ke Kejari