SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN ASAHAN SUMATERA UTARA

Minggu, 17 Oktober 2010

Pendidikan Gratis untuk Siapa?

Masalah pendidikan gratis yang telanjur digulirkan pemerintah, tampaknya, masih menjadi polemik berkepanjangan. Selama ini, ada pemahaman berbeda antara pemerintah dan masyarakat.
Gunawan Handoko
MASYARAKAT tentu tidak bisa disalahkan jika mempertanyakan atau menuntut kebijakan pendidikan gratis. Mengingat, masalah ini tidak sepenuhnya dipahami secara utuh baik oleh pihak sekolah maupun orang tua siswa.
Jika mengacu pada kamus besar bahasa Indonesia, defenisi pendidikan gratis artinya pendidikan yang tidak dipungut biaya apa pun. Guna menghindari kontroversi, maka pengertian pendidikan gratis antara pemerintah dan masyarakat pun harus sama.
Sayangnya, sampai kini konsep pendidikan gratis tidak pernah dirumuskan secara jelas, bagaimana konseptualnya, komponen apa saja yang perlu digratiskan, dan bagaimana perimbangan bantuan setiap sekolah. Dengan demikian, pengertian gratis tidak menjadi bias seperti sekarang ini. Harus diakui, hanya sebagian kecil masyarakat yang telah paham dengan istilah pendidikan gratis, yakni penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah.
Konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan unit cost di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan sekolah untuk melayani satu murid. Besarnya biaya satuan tersebut kemudian harus dibandingkan dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diterima tiap-tiap sekolah. Jika ternyata biaya satuan di tingkat sekolah lebih besar dibandingkan dana BOS, maka pemerintah daerah yang akan menutupi kekurangannya melalui sumber dana APBD dan sumber lainnya yang sah.
Contohnya dari hasil perhitungan terjadi selisih antara biaya satuan dan dana BOS sebesar Rp15 ribu per murid. Jika di suatu kabupaten/kota terdapat Rp200 ribu murid SD, maka diperlukan tambahan APBD senilai Rp3 miliar. Semakin besar selisih antara BOS dengan biaya satuan, maka semakin besar pula alokasi APBD yang diperlukan untuk menutupi kekurangan biaya tersebut.
Persoalannya sekarang adalah, apakah pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menutupi secara keseluruhan atas kekurangan tersebut? Lantas, apabila ternyata pemerintah daerah tidak mampu, apakah lantas sekolah akan dibiarkan untuk beroperasi dengan dana yang lebih rendah dari kebutuhan yang semestinya? Sungguh ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan bagi sekolah dan dikhawatirkan berimplikasi buruk bagi kualitas pendidikan.
Memang, masyarakat memerlukan pendidikan yang murah. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat juga memerlukan pendidikan bermutu. Dan sayangnya, kedua hal itu tidak bisa berjalan seiring. Di sinilah perlu adanya kesadaran masyarakat untuk andil di dalamnya. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Komite sekolah yang merupakan wakil masyarakat harus berperan aktif dalam membantu sekolah, agar masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi memiliki kesadaran betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah. Kepala sekolah, guru dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi ketiga pihak tersebut.
Harus disadari bahwa masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah. Karena, mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu. Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui ’’perwakilan’’ fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota.
DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan komite sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan, serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya. Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk "penarikan iuran", karena penarikan iuran yang dilakukan BP3 di masa lalu terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggung jawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi DP dan KS sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat.
Sebenarnya untuk pendidikan tidak memakai istilah pendidikan gratis, melainkan implementasi dari program wajib belajar 12 tahun. Agar harapan tersebut dapat terwujud, maka pemerintah kabupaten/kota menyediakan anggaran untuk memberi bantuan kepada siswa yang tidak mampu. Di sinilah perlunya para pelaku dan pengelola pendidikan merumuskan tentang pendidikan gratis secara cermat dan bijak dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan yang dimiliki pemerintah daerah. Ada beberapa alternatif yang dapat diterapkan. Pertama, memberi bantuan kepada siswa yang tidak mampu atau kurang mampu. Implementasinya, jika SPP perbulan 75 ribu rupiah, maka dipotong sebesar bantuan yang diberikan pemerintah daerah. Anggaran untuk bantuan siswa tersebut diserahkan ke sekolah. Sekolah menjaring anak yang tidak mampu dengan didukung keterangan RT/RW. Kedua, melalui subsidi silang, dimana wali murid yang mampu dapat membantu wali murid yang tidak mampu. Konsep ini bukan hal baru, hanya saja dalam mengimplementasikan sering menemui hambatan.
Bicara masalah subsidi silang, saya jadi teringat saat berkunjung ke sebuah sekolah milik pemerintah Singapura yang bernama Yangzheng Primary School. Ditilik dari bangunan gedungnya yang mewah dan fasilitas yang serba mahal, siapapun (khususnya orang Indonesia) akan berpikir bahwa sekolah ini untuk konsumsi golongan elite dan kaya, sebagaimana yang ada di negara kita. Namun pikiran tersebut ternyata salah besar. Sekolah ini tidak pernah memilah atau memilih calon siswa. Dalam penerimaan siswa baru, pihak sekolah hanya melakukan seleksi umur. Selanjutnya untuk menentukan calon siswa yang diterima, dilakukan melalui undian langsung secara terbuka. Untuk mencu kupi kebutuhan biaya kegiatan belajar dan mengajar, diberlakukan subsidi silang diantara para orang tua itu sendiri. Artinya, yang kaya wajib membantu yang miskin.
Harap dicatat, tidak pernah ada yang ribut-ribut kenapa pihak yang mampu dibebani untuk membantu pihak yang miskin? Masyarakat di Singapura punya prinsip yang amat kuat, bahwa setiap orang Singapura harus lebih pintar dan menjadi manusia unggul dibanding bangsa lainnya. Inilah wujud nyata dari bentuk kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang sejak masa perjuangan dulu telah dimiliki rakyat Indonesia. Bila hari ini kita masih dituntut untuk berkorban demi pendidikan anak-anak kita, bukankah jer basuki mawa bea? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Kantor Kejari Dihotmix, Dinas PU Asahan Dituding Beri Gratifikasi ke Kejari